8/26/2008

Rt Rw Net LAN

Istilah RT/RW-net

Istilah RT/RW-net pertama kali digunakan sekitar tahun 1996-an oleh para mahasiswa di Universitas Muhammadyah Malang (UMM), seperti Nasar, Muji yang menyambungkan kos-kos-an mereka ke kampus UMM yang tersambung ke jaringan AI3 Indonesia melalui GlobalNet di Malang dengan gateway Internet di ITB. Sambungan antara RT/RW-net di kos-kosan ke UMM dilakukan menggunakan walkie talkie di VHF band 2 meter pada kecepatan 1200bps.

Hal tersebut, diutarakan oleh Bino, waktu itu masih bekerja di GlobalNet, secara bercanda para mahasiswa Malang ini menamakan jaringan mereka RT/RW-net karena memang di sambungkan ke beberapa rumah di sekitar kos-kosan mereka.

Implementasi Awal RT/RW-net

Implementasi yang serius dari RT/RW-net dilakukan pertama kali oleh Michael Sunggiardi di perumahannya di Bogor sekitar tahun 2000-an. Banyak kisah sedih yang diceritakan oleh Michael Sunggiardi karena sulitnya mencari pelanggan di awal 2-3 tahun operasi RT/RW-net-nya. Sebagian besar tetangga beliau pada saat itu tidak merasa butuh akses Internet 24 jam dari rumahnya.

RT/RW-net Michael Sunggiardi sempat menjadi feature di acara e-lifestyle MetroTV.

Michael Sunggiardi banyak menggunakan kabel LAN untuk menyambungkan antar rumah. Karena lebih reliable dan lebih murah di bandingkan dengan menggunakan radio / wireless LAN / Wireless Internet

Belakangan, tampaknya lebih banyak RT/RW-net yang menggunakan Wireless Internet karena lebih mudah dan harga peralatan yang semakin murah.

UU 36/1999 tidak berpihak pada Infrastruktur Rakyat

Dari sisi legalitas, sebetulnya RT/RW-net tidak legal karena berdasarkan UU 36/1998 maupun berbagai PP & KEPMEN dibawahnya hanya operator telekomunikasi yang berhak membangun sebuah infrastruktur telekomunikasi. Jelas kerangka kebijakan yang ada lebih banyak ditujukan kepada usaha besar dengan peralatan kelas Cisco. Tidak pernah terpikir oleh pemerintah bahwa sebagian besar akses akan berkembang dari jaringan sekolah, jaringan RT/RW-net yang mungkin beroperasi tanpa ijin usaha, atau maksimum sebuah CV saja, dengan peralatan seadanya bahkan dengan router buatan sendiri dari PC kelas Pentium II.

Berbasis pada pengembangan konsep infrastruktur telekomunikasi rakyat, yang bertumpu pada teknologi Internet tanpa kabel pada band ISM & UNII di frekuensi 2.4GHz dan 5-5.8 GHz implementasi RT/RW-net mulai di lakukan. Teknologi Warung Internet yang relatif sederhana dan mapan di kembangkan untuk menyambungkan komputer tetangga menggunakan kabel LAN untuk menjadi RT/RW-net. Secara sederhana sambungan 24 jam ke Internet Service Provider (ISP) yang harganya Rp. 4-8 juta/bulan, di bagi 20-80 tetangga untuk mencapai biaya operasi Rp. 150-300.000/bulan/ rumah 24 jam ke Internet. Jika dilakukan bertumpu pada pembentukan kebutuhan (demand creation), bukan pembangunan infrastruktur semata, investasi sambungan yang besarnya antara Rp. 1-4 juta akan kembali modal dalam waktu 1-1.5 tahunan. Gilanya, semua dilakukan tanpa perlu bergantung kepada Telkom maupun pemerintah.

Teknologi Internet tanpa kabel menjadi menarik karena diluar negeri frekuensi 2.4 GHz, maupun 5-5.8 GHz di bebaskan dari ijin frekuensi, akibatnya peralatan komunikasi data pada frekuensi tersebut dapat diperoleh dengan mudah, murah selain mudah dioperasikan (user-friendly). Bayangkan sebuah card Internet tanpa kabel pada kecepatan 11-22Mbps dapat di peroleh seharga Rp. 350-500.000 per buah, tinggal dibuatkan antenna parabola kecil, atau antenna kaleng susu cukup menjangkau jarak jauh 3-5 km.

Di Indonesia, perjuangan untuk membebaskan 2.4 GHz & 5-5.8 GHz dari penindasan aparat telah menelan banyak korban, berakibat di bebaskannya frekuensi 2.4GHz untuk penggunaan Internet sejak January 2005. Sayangnya, hingga hari di tahun 2006 penggunaan 5-5.8GHz hanya dapat dinikmati dengan membayar setoran sekitar Rp 20 - 25 juta / tahun / node kepada pemerintah. Itupun hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai ijin ISP / operator telekomunikasi, akibatnya rakyat kecil, yang bermodal kecil tidak mungkin untuk memperoleh ijin frekuensi tsb.

2006 RT/RW-net di INDOWLI

Di tahun 2005-2006, setelah frekuensi 2.4GHz di bebaskan. Tampaknya RT/RW-net menjadi sangat booming, hal ini dapat di monitor dari dekat dari berbagai diskusi yang terjadi di mailing list indowli@yahoogroups.com, banyak sekali permohonan akses RT/RW-net yang dilayangkan ke mailing list indowli@yahoogroups.com.

Dengan teknologi RT/RW-net sangat mungkin sebuah rumah untuk memperoleh akses Internet 24 jam dengna biaya relatif murah. Di tahun 2006, rata-rata biaya langganan RT/RW-net sekitar Rp. 250-350.000 / bulan untuk akses Internet 24 jam. Berita yang menarik terjadi di Bandung, beberapa kos-kosan juga mengembangkan kos-kos-an Net di bawah RT/RW-net dan menarik sekitar Rp. 50.000 / bulan untuk setiap anak kos yang mengakses Internet 24 jam. Dengan cara ini Internet menjadi sangat terjangkau untuk para mahasiswa.

Cuplikan menarik di Mailing List INDOWLI oleh Hamzah Iza 7 Agustus 2006 10:13pm. Yang diperlukan utk rtrwnet sederhana:

  • Izin tetangga ( rt/rw)
  • Tower dan asesorisnya atau bisa juga pipa ledeng (sesuai kebutuhan dan selera)
  • Koneksi internet (bisa wireless, cable, ADSL, satellite, dll)
  • Access Point
  • Antena
  • Router
  • beberapa unit paket client (biar kalo ada yang mau berlangganan bisa langsung pasang)
  • Operator, tehnisi, dan marketing
  • Formulir pendaftaran
  • alat administrasi (logbook, pembukuan, dll)

Gambaran umum teknologi RT/RW-net dapat dilihat pada gambar. Beberapa Alternatif topologi maupun kunci peralatan yang perlu diperhatikan, adalah,


Beberapa teknik yang perlu di kuasai adalah

Teknik Memilih Kabel LAN untuk RT/RW-net

Bagi-bagi Pengetahuan Nih, Saya membangun RT/RW-net, sebuah jaringan antar tetangga, di daerah perumahan Pasadena Semarang. Pada awalnya saya menggunakan kabel UTP Belden USA (asli) sebanyak dua roll, namun karena dinamika jumlah klien dan medan tidak beraturan, maka saya terpaksa menambah kabel UTP 1 roll. Dengan dana terbatas saya membeli kabel UTP Belden Australia. Pemasangan berhasil tanpa adanya rintangan yang berarti. sampai suatu saat saya menggunakan kabel belden Australia lagi tidak bisa digunakan semuanya (1 roll), saya mencoba dengan jarak 10 m saja kabel tidak bisa terkoneksi meski settingan RJ 45 sudah benar. akhirnya saya rugi 400-an rb.rik

cara ngetes kabel utp yang bisa digunakan dengan baik Ini ilmu dari tukang rosok, waktu kabel utp saya nganggur karna nggak bisa dipake ditawar sama tukang rosok, 10 ribu. Waduh:rolleyes: saya beli mahal masak kembali 10 rb?, Si Tukang Rosok beralasan karena kabelnya tidak murni terbuat dari tembaga, makanya harganya murah.

kemudian dicoba kabel belden USA dicek dengan magnet tidak nempel, kabel belden autralia saya yang bisa digunakan, juga tidak bisa nempel. berbeda dengan kabel australia (aspal). kabel nempel dengan magnet.

mungkin ini bisa jadi acuan buat temen-temen yang mau beli barang murah tapi bisa digunakan. OC.

Terima Kasih Kepada Tuhan YME yang telah mengirimkan Tukang Rosok Pada Saya untuk menurunkan Ilmu tentang kabel UTP

Komputer = K0n_muter untuk mendapatkan jalan pintas

Sambungan ke Internet

Secara umum kita di Indonesia mempunyai dua (2) alternatif untuk sambungan 24 jam ke Internet, yaitu:

  • Leased Line Telkom. Pada kecepatan 64Kbps, komponen biaya yang harus di keluarkan biasanya sekitar Rp. 4 juta untuk telkom & Rp. 4 juta lagi untuk ISP. Jadi total biaya operasional Rp. 8 juta / bulan. Biasanya modem yang dibutuhkan di siapkan oleh operator. Sialnya modem 64Kbps ini biasanya membutuhkan sambungan V.35 (bukan RS.323) seperti yang ada di PC, jadi kita perlu menyiapkan minimal Cisco Router kelas 1600-an yang harganya Rp. 4 juta-an.

  • Wireless LAN (WLAN) 1-11Mbps di 2.4GHz (atau 5.8GHz). Solusi ini jauh lebih murah daripada Telkom. Saya pribadi sangat menyarankan penggunaan peralatan ini daripada menggunakan Telkom. Peralatan wireless di 2.4GHz lengkap & baru berupa card, kabel coax & antenna di akhir tahun 2001 berkisar sekitar Rp. 4 juta. Sekedar gambaran di pertengahan tahun 2001, peralatan yang sama berkisar sekitar Rp. 7 juta-an. Biaya ke telkom tidak ada sama sekali, tinggal yang sisa biaya ke ISP. Sangat tergantung ISP & konfigurasi jaringan yang ada, bisa berkisar antara Rp. 330.000 s/d 4 juta / bulan. Saya pribadi menggunakan sambungan yang Rp. 330.000 / bulan. Teknik instalasi card WLAN perlu dipelajari & sebetulnya cukup mudah jika menggunakan Windows.

Dari Kesulitan Infrastruktur sampai Masalah Peraturan

Ada lima tahapan dalam perkembangan jaringan kerakyatan yang disebut juga RT-RW-Net. Fase pertama menyangkut masalah infrastruktur. Dari awal ide membangun jaringan murah untuk mengakses internet, kesulitan yang dihadapi adalah memanfaatkan infrastruktur yang tersedia.

Karena, perusahaan telekomunikasi Indonesia yang terbesar sepertinya tidak siap untuk menerima misi mencerdaskan bangsa ini melalui jaringan internet. Mereka masih sibuk berkutat dengan teknologi suara dan sama sekali belum memikirkan pembangunan dan pengembangan internet, ditambah lagi tindakannya yang selalu melihat kalkulator untuk menghitung keuntungan.

Kalau saja yang sedang memegang monopoli dapat membuat sebuah produk yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, kita tidak akan tertinggal oleh Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Karena semua upaya yang sedang dilakukan saat ini semuanya hanya berbentuk tambal-sulam tanpa target yang jelas, malah di posisi terdepan, terkesan memaksakan keinginan atasannya.

Fase kedua mencakup persoalan sosialisasi yang termasuk sulit dan merupakan masa paling menegangkan dalam memperkenalkan konsep "Internet Kerakyatan" ke masyarakat yang sedang bingung mau jalan ke mana. Penulis pernah mengundang sekitar 200 warga kompleks perumahan di Bogor untuk memperkenalkan jaringan RT-RW-Net, dan hanya 8 orang yang hadir, itu pun sebagian yang sudah bergabung dan merasa solider untuk bergabung dalam acara tersebut.

Sosialisasi ini menjadi sulit karena punya dua latar belakang perpaduan yang merupakan masalah bangsa Indonesia, yaitu daya beli dan pendidikan. Daya beli yang rendah menyebabkan bangsa Indonesia menjadi "takut" untuk menggunakan komputer, dan malah belakangan ini menjadi sampah dunia dengan mengimpor komputer bekas.

Di sisi pendidikan, sepertinya sudah tidak perlu dibahas lagi, bagaimana amburadulnya pendidikan dasar sampai ke pendidikan tinggi, walaupun perbaikan terus diupayakan oleh departemen terkait.

FASE ketiga menyangkut masalah manajemen. Fase ini yang sedang dialami oleh sebagian besar pengembang RT-RW-Net, mereka kebingungan menerima cercaan dari pelanggannya yang sebagian besar mengharapkan sambungan broadband yang sesungguhnya, sementara biaya operasional belum mampu membuat bisnis ini jalan. Membeli bandwidth seharga 5.000 dollar AS per bulan, untuk kemudian diecer dengan nilai sekitar Rp 300.000 membutuhkan jumlah pelanggan banyak yang sangat sulit didapat dan diambil komitmennya.

Manajemen teknis yang tidak baik menyebabkan pelayanan yang tidak sesuai dengan harapan pelanggan, karena semua pengembang RT-RW-Net baru dalam taraf belajar, dan pola pemakaian di setiap tempat berbeda satu sama lain sehingga sangat sulit untuk ditarik benang merahnya.

Fase keempat menyangkut masalah "content." Fase ketiga dan keempat sebetulnya agak sulit dipisahkan, karena saat ini pelanggan RT-RW-Net juga mengalami kesulitan mencari muatan lokal yang dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Sementara online game yang sudah dikembangkan lebih dari lima tahun, kelihatannya juga mengalami kesulitan yang cukup menyedihkan di mana mereka kekurangan tenaga ahli, kekurangan resource di internet dan terbentur pada masalah-masalah nonteknis yang bukan berkaitan dengan sisi teknisnya.

Kasus meledaknya online game yang gratis, tetapi langsung megap-megap pada saat diberlakukan pembayaran langganan merupakan sisi gelap dari bisnis ini. Sehingga hal-hal lain yang di luar dugaan akan dihadapi oleh para investornya.

Dan, fase kelima, menyangkut masalah peraturan. Sampai saat ini pemerintah belum membuat aturan yang jelas tentang jaringan RT-RW-Net ini, dan memang itu yang sering kali terjadi pada Pemerintah Indonesia. Pada saat masih kecil dibiarkan berkembang, kalau sudah besar baru dibuat aturan-aturan yang kemungkinan akan membuat sulit semua pihak-lihat contohnya peraturan tentang VoIP, Wireless LAN 2,4GHz, dan lainnya.

Saat ini, untuk membangun RT-RW-Net hanya dibutuhkan kesepakatan bersama antarwarga dan melapor ke RT atau RW setempat, terutama untuk meminta izin proses pemasangan kabel dan perangkat akses internet di tempat umum.

LIMA fase yang dijabarkan ini belum semuanya dilalui, masih panjang perjalanan pembangunan dan perkembangan jaringan RT-RW-Net, seirama dengan makin gencarnya PT Telkom melakukan terobosan teknologi ADSL yang hanya cocok untuk kalangan perusahaan atau SOHO (Small Office Home Office). Karena biar bagaimanapun usaha yang dilakukan, ujung dari semua persoalan adalah jumlah pengguna internet yang masih terlalu kecil, sehingga skala ekonominya belum tercapai.

Fase-fase yang belum dijalani masih merupakan misteri, karena kita semua berharap terjadi satu kejutan atau terobosan dari apa yang sudah dilakukan saat ini. Tetapi dari seluruh fase, baik yang sudah lalu ataupun yang akan dijalankan, fase perbanyakan isi di jaringan internet merupakan hal yang utama dan harus dikedepankan. Semakin beragamnya isi berbasis kultur Indonesia di internet, maka diharapkan akan terjadi "serbuan" pengguna internet, sehingga akhirnya akan membuat harga menjadi murah.

Ibu-ibu rumah tangga yang tadinya tidak pernah menggunakan internet, mendadak setiap hari menatap monitor komputer, karena mereka sedang tergila-gila dengan bisnis MLM yang salah satu perangkat utamanya adalah akses internet. Anak-anak tergila-gila dengan situs Friendster yang menjalan pertemanan melalui internet, serta aplikasi massal lain yang belum dijalankan, yaitu memasyarakatkan teknologi VoIP yang akan mengurangi biaya komunikasi yang setiap tahun mengalami kenaikan.

Voice over IP, yaitu teknologi yang menumpangkan sinyal suara dari pesawat telepon biasa ke jaringan internet, yang bekerja di sistem digital sehingga pada saat yang bersamaan pelanggan yang akses internet dapat menelepon ke setiap pelanggan lainnya, atau dengan menggunakan jasa operator VoIP resmi berdasarkan aturan pemerintah, kita dapat menelepon ke jaringan telepon biasa (Public Switching Telephone Network/PSTN). Dengan tersedianya jaringan RT-RW-Net, teknologi VoIP ini dapat langsung diterapkan, apalagi saat ini sudah tersedia IP Phone Wireless yang berkomunikasi melalui Access Point dari Wireless LAN (HotSpot).

Kota Michigan di Amerika, sudah membangun jaringan yang mirip RT-RW-Net dengan menggunakan teknologi Wireless LAN (W-LAN) dan menyediakan fasilitas IP Phone Wireless dengan hanya membayar 29 dollar AS setiap bulannya, untuk menelepon ke mana saja di Amerika. Selain itu, kantor polisi dan kantor pemerintahan semuanya disambung ke jaringan W-LAN tersebut, sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan roda pemerintahan dan keperluan orang banyak, dapat dilayani dengan sebaik-baiknya.

Kondisi di Indonesia sebetulnya memungkinkan untuk membangun RT-RW-Net bersamaan dengan program e-government di seluruh pemda, karena biasanya kantor pemerintahan tersebar di seluruh pelosok kota dan tinggal menyalurkan ke perumahan terdekat. Sayangnya, pembangunan infrastruktur kebanyakan hanya berbasis pada proyek menghabiskan uang pemerintah, karena begitu selesai, tiga bulan kemudian semua perangkat sudah tidak dapat beroperasi lagi.

Perbanyak isi berbasis Indonesia di internet dan memperbaiki mutu pendidikan Indonesia merupakan kunci keberhasilan pengembangan jaringan internet di Tanah Air ini. Jika keduanya diabaikan, perkembangan internet dan kemajuan teknologi informasi di Indonesia akan mengalami kemunduran yang berarti dan semakin tertinggal dengan negara tetangga yang nota bene-nya "murid" Indonesia. Apakah kita rela untuk menyaksikan anak cucu kita kelak menjadi tenaga kasar di percaturan dunia?

Tidak ada komentar:

Label